Postingan

SATUAN UKUR ELEMEN ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI

Gambar
Satuan ukur setiap elemen dalam arsitektur tradisional Bali disebut dengan gegulak. yang diturunkan dari bagian-bagian fisik pemilik atau pemakai bangunan. Satuan ukur ini ditetapkan dalam sebilah bambu sebagai modul dasar. Melalui gegulak ditentukan ukuran setiap dimensi arsitektur mulai dari ukuran pekarangan, tata letak masa bangunan hingga pada elemen bangunan yang kecil, seperti: panjang tiang (sesaka), panjang balok tarik (lambang, pementang, dan tada paksi), panjang usuk (iga-iga), hingga hiasan pada tiang (kekupakan). Ukuran pekarangan digunakan satuan depa, yakni ukuran panjang tangan terentang dari ujung jari kanan ke ujung jari kiri dengan variasi ‘depa alit’, ‘depa madia’ dan ‘depa agung’ (lihat Gambar 4. 1). Jumlah kelipatan satuan ukur depa yang ditambah ‘pengurip’ merupakan panjang sisi-sisi pekarangan yang diukur. Untuk ukuran tata letak masing-masing masa bangunan didasarkan pada satuan ukuran ‘tapak’ yakni sepanjang tapak kaki dari ujung tumit sampai uju

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI MASA KOLONIAL

Gambar
Jatuhnya kerajaan–kerajaan di Bali oleh pemerintah Belanda tahun 1846, menandakan pusat kekuasan bergeser dari pemerintahan tradisional menjadi pemerintahan modern (sistem pemerintahan kolonial Belanda). Kekuasaan raja dan patih tidak lagi berbicara, namun tunduk pada berbagai kebijakan dan intervensi pemerintah kolonial. Proses kolonisasi mengawali kontak budaya Bali dengan budaya Barat. Kehadiran kolonisasi di Bali memberi peluang besar lahirnya hasrat dari budaya lokal untuk menyerap nilai-nilai budaya baru. Ini berarti arsitektur tradisional Bali sebagai bagian dari wujud budaya juga akan mengalami pergeseran. Pergeseran ini didorong pula oleh kehadiran beberapa arsitektur kolonial di Bali. Hal yang terpenting dalam pendirian arsitektur kolonial ini adalah adanya kebijakan pemerintah kolonial untuk melibatkan tukang-tukang lokal dalam proses pembuatannya. Kebijakan ini berarti memberikan peluang bagi undagi Bali untuk memperoleh kesempatan mengenal sistem teknologi modern da

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI JAMAN BALI AGA

Gambar
Pada periode ini arsitektur telah dikembangkan sebagai benda budaya yang dibentuk dari benda-benda alam dalam suatu susunan yang harmonis dalam fungsinya menjaga keseimbangan manusia dengan alam lingkungannya. Dalam ’Monografi Daerah Bali’ dikatakan bahwa masa Bali Aga dimulai sejak 800 M. Asumsi ini didasarkan pada penemuan bukti-bukti sejarah berupa ‘stupika tanah liat’ berangka tahun 778 M yang terdapat di Pejeng. Stupika ini berisikan tentang mantram-mantram agama Budha Mahayana. Bukti lain adalah prasasti ‘Blanjong’ yang ditemukan di desa Sanur, berangka tahun 913 M. Dalam prasasti ini disebutkan bahwa raja yang memerintah Bali Kuno saat itu adalah Çri Kesari Warmadewa yang menjadi cikal bakal dinasti warmadewa di Bali. Raja keturunan Warmadewa yang terkenal adalah Raja Dharma Udayana Warmadewa dan istrinya Gunapriyadharmapatni yang memerintah di Bali dari tahun 989 M-1001 M. Masyarakat Bali Aga memiliki suatu kebudayaan dan peradaban dengan sistem relegi yang menyembah nenek

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI JAMAN PERTENGAHAN

Gambar
Masa ini bertepatan dengan datangnya para Arya dari Majapahit dan berkuasa di Bali sekitar abad XIV. Pada tahun 1350 pemerintah majapahit mengangkat Sri Kresna Kepakisan sebagai adipati di Bali dengan keraton yang berpusat di Samprangan (sebelah timur kota Gianyar). Dalam Kekawin Jawa dari abad XIV, Nagarakrtagama mengungkapkan tentang penyebaran kebudayaan Majapahit ke Bali, dikatakan bahwa pada periode ini bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi (the chancellery language) berubah dari bahasa Bali Kuno ke bahasa Jawa Kuno dan tulisan-tulisan Jawa mulai ditiru. Perubahan-perubahan ini menandai dominasi kebudayaan Jawa yang berlangsung berkenaan dengan perubahan-perubahan politik antara Jawa dan Bali. Masuknya intervensi Majapahit membawa sistem stratifikasi sosial ke dalam masyarakat Bali yang di kenal dengan sebutan ‘catur warna’ : Brahmana, Kesatria, Wesya dan Sudra. Kehadiran catur warna memunculkan istilah: Geria sebagai rumah tinggal untuk golongan Brahmana; Puri sebagai tem

KONSEP TRI ANGGA DALAM ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI

Gambar
Tri Angga adalah ungkapan tata nilai pada ruang terbesar jagat raya mengecil sampai elemen-elemen terkecil pada manusia dan arsitektur. Pada alam semesta (bhuwana agung) susunan tersebut tampak selaku bhur, bhuwah dan swah (tiga dunia/tri loka) bhur sebagai alam ‘bawah’ adalah alam hewan atau butha memiliki nilai ‘nista’, bwah adalah alam manusia dengan nilai ‘madya’ dan swah alam para Dewa memiliki nilai ‘utama’. Demikin pula pada manusia (bhuwana alit) ungkapan tata nilai ini terlihat pada tubuhnya yang tersusun atas: kaki sebagai ‘nista angga’, badan sebagai ‘madya angga’ dan kepala adalah ‘utama angga’. Konsep Tri Angga ini diproyeksikan dalam setiap wujud fisik arsitektur, teritorial perumahan dan teritorial desa. Pada arsitektur konsep Tri Angga menampakan dirinya dengan jelas, yakni rab/atap bangunan adalah kepalanya; pengawak atau badan bangunan selaku madya angga; serta bebataran merupakan kaki sebagai nista angga. Penyusunan Tri Angga pada areal pekarangan rumah, yakni teba

FILOSOFI ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI

Gambar
Filosofi Arsitektur Tradisional Bali mengandung kaidah-kaidah terkait dengan pandangan relegi dan tata nilai sosial yang pada hakikatnya memberikan penyelarasan terhadap alam lingkungan demi keseimbangan hubungan manusia (mikrokosmos) dengan alam semesta (makrokosmos) dan Maha Pencipta (metakosmos). Hubungan keselarasan dan keseimbangan ini sangat jelas terlihat dalam filosofi Tri Hita Karana sebagai tiga kutub yang menjadi penyebab lahirnya kebahagiaan. Dalam alam semesta ketiga kutub ini hadir selaku tiga dunia, yakni: bhur sebagai alam bawah tempat bhuta kala , bwah sebagai alam tengah tempat hidup mausia, dan swah adalah alam atas tempat para Dewa. Berdasarkan pandangan kosmologi ketiga kutub ini menempati arah yang berbeda dengan tingkatan nilai ruangnya masing-masing, yakni arah terbitnya matahari dan dataran yang paling tinggi (gunung atau bukit) memilik makna ‘utama’ sebagai tempat kediaman para dewa, arah terbenamnya matahari dan dataran yang paling rendah (laut